Kampung Kasepuhan Ciptagelar. Source gambar: disparbud.jabarprov.go.id |
1. Lokasi dan Lingkungan
Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar adalah sebuah kampung adat yang mempunyai ciri khas dalam lokasi dan bentuk rumah serta tradisi yang masih dipegang kuat oleh masyarakat pendukungnya. Masyarakat yang tinggal di Kampung Ciptagelar disebut masyarakat kasepuhan. Istilah kasepuhan berasal dari kata sepuh dengan awalan /ka/ dan akhiran /an/. Dalam bahasa Sunda, kata sepuh berarti \\\'kolot\\\' atau \\\'tua\\\' dalam bahasa Indonesia. Berdasarkan pengertian ini, muncullah istilah kasepuhan, yaitu tempat tinggal para sesepuh. Sebutan kasepuhan ini pun menunjukkan model \\\'sistem kepemimpinan\\\' dari suatu komunitas atau masyarakat yang berasaskan adat kebiasaan para orang tua (sepuh atau kolot). Kasepuhan berarti \\\'adat kebiasaan tua\\\' atau \\\'adat kebiasaan nenek moyang\\\'. Menurut Anis Djatisunda (1984), nama kasepuhan hanya merupakan istilah atau sebutan orang luar terhadap kelompok sosial ini yang pada masa lalu kelompok ini menamakan dirinya dengan istilah keturunan Pancer Pangawinan.
Pada era 1960-an, Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar mempunyai nama khusus yang dapat dianggap sebagai nama asli masyarakat tersebut, yaitu Perbu. Nama Perbu kemudian hilang dan berganti menjadi kasepuhan atau kasatuan. Selain its I, mereka pun disebut dengan istilah masyarakat tradisi.
Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar (selanjutnya ditulis Kampung Ciptagelar) merupakan nama baru untuk Kampung Ciptarasa. Artinya sejak tahun 2001, sekitar bulan Juli, Kampung Ciptarasa yang berasal dari Desa Sirnarasa melakukan "hijrah wangsit" ke Desa Sirnaresmi yang berjarak belasan kilometer. Di desa inilah, tepatnya di Kampung Sukamulya, Abah Anom atau Bapa Encup Sucipta sebagai puncak pimpinan kampung adat memberi nama Ciptagelar sebagai tempat pindahnya yang baru. Ciptagelar artinya terbuka atau pasrah. Kepindahan Kampung Ciptarasa ke kampung Ciptagelar lebih disebabkan karena "perintah leluhur" yang disebut wangsit. Wangsit ini diperoleh atau diterima oleh Abah Anom setelah melalui proses ritual beliau yang hasilnya tidak boleh tidak, mesti dilakukan. Oleh karena itulah perpindahan kampung adat bagi warga Ciptagelar merupakan bentuk kesetiaan dan kepatuhan kepada leluhurnya. Masyarakat atau warga Kampung Ciptagelar sebenarnya tidak terbatas di kampung tesebut saja tetapi bermukim secara tersebar di sekitar daerah Banten, Bogor, dan Sukabumi Selatan. Namun demikian sebagai tempat rujukannya, "pusat pemerintahannya" adalah Kampung Gede, yang dihuni oleh Sesepuh Girang (pemimpin adat), Baris Kolot (para pembantu Sesepuh Girang) dan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar yang ingin tinggal sekampung dengan pemimpin adatnya. Kampung Gede adalah sebuah kampung adat karena eksistensinya masih dilingkupi oleh tradisi atau aturan adat warisan leluhur.
Secara administratif, Kampung Ciptagelar berada di wilayah Kampung Sukamulya Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Jarak Kampung Ciptagelar dari Desa Sirnaresmi 14 Km, dari kota kecamatan 27 Km, dari pusat pemerintahan Kabupaten Sukabumi 103 Km dan dari Bandung 203 Km ke arah Barat.
Kampung Ciptagelar dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat (mobil) dan roda dua (motor). Jenis kendaraan roda empat harus mempunyai persyaratan khusus, yakni mempunyai ketinggian badan cukup tinggi di atas tanah serta dalam kondisi prima. Apabila tidak mempunyai persyaratan yang dimaksud kecil kemungkinan kendaraan tersebut sampai ke lokasi. Dan umumnya mobil-mobil demikian hanya sampai di kantor Desa Sirnaresmi yang sekaligus merupakan tempat parkirnya. Selebihnya menggunakan kendaraan ojeg atau mobil umum (jenis jeep) yang hanya ada sewaktu-waktu atau jalan kaki.
Guna mencapai lokasi tujuan, ada beberapa pilihan jalur jalan. Pilihan pertama adalah : Sukabumi - Pelabuhanratu. Pelabuhanratu - Cisolok berhenti di Desa Cileungsing. Dari Desa Cileungsing menuju Desa Sirnarasa dan berhenti di Kampung Pangguyangan. Di Kampung Pangguyangan semua kendaraan roda empat di parkir dan selanjutnya dari kampung ini menuju Kampung Ciptagelar ditempuh dengan jalan kaki atau naik ojeg. Sebagai catatan, melalui jalur ini kendaraan pribadi hanya sampai di Kampung Pangguyangan mengingat kondisi jalan yang berat.
Pilihan jalur kedua adalah melalui Desa Sirnaresmi. Melalui jalur ini seseorang dapat langsung sampai ke lokasi Kampung Ciptagelar. Hal ini disebabkan kondisi jalan relatif balk dibandingkan dengan jalur melalui Kampung Pangguyangan. Tentu saja kendaraan yang prima dan keterampilan pengendara kendaraan yang lihai merupakan prioritas utama, mengingat kondisi jalan yang berbatu, tikungan yang tajam serta jurang yang curam. Jalur pilihan lainnya adalah dari Pelabuhanratu menuju Cisolok, berhenti di Kampung Cimaja. Dari Desa Cimaja menuju Desa Cicadas dengan mengambil kendaraan umum jurusan Cikotok dan berhenti di kantor Desa Sirnaresmi. Dari kantor Desa Sirnaresmi menuju Kampung Ciptagelar.
Dalam hal ini kantor Desa Sirnaresmi menjadi patokan atau titik awal perjalanan menuju Kampung Ciptagelar. Dan di sini pula semua jenis kendaraan yang tidak memenuh persyaratan dititipkan atau diparkirkan. Selanjutnya perjalanan dilakukan dengan naik ojeg atau berjalan kaki. Perlu diketahui jalan ber-aspal hanya sampai di kantor Desa Simaresmi. Sementara itu jalan menuju ke Kampung Ciptagelar lebarnya hanya cukup untuk sebuah mobil dengan kondisi jalan berbatu-batu, naik turun dan relatif terjal. Di kiri kanan kadang-kadang dijumpai jurang yang cukup dalam.
Letak geografis Kampung Ciptagelar berada di atas ketinggian 1050 meter di atas permukaan taut. Udaranya sejuk cenderung dingin dengan suhu antara 20° C samDai 26° C dan suhu rata-rata setiaq tahun sekitar 25° C. Kampung Ciptagelar dikelilingi gunung-gunung, yaitu Gunung Surandil, Gunung Karancang, dan Gunung Kendeng.
2. Potensi Penduduk
Penduduk Kasepuhan atau Iebih tepat disebut warga kasepuhan dapat dikelompokkan pada dua bagian. Kelompok pertama adalah warga jiwa jero dan kelompok kedua adalah warga jiwa luar. Yang dimaksud warga jiwa jero adalah warga kasepuhan yang memiliki pertalian darah dengan Abah Anom meskipun pertaliannya sudah sangat jauh dan sangat rumit untuk ditelusuri. Warga jiwa jero ini bertempat tinggal di Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar dan kampung-kampung lainnya dengan tetap mengikuti semua tradisi kasepuhan secara penuh, terutama dalam bidang pertanian.
Kelompok kedua yaitu warga jiwa luar adalah mereka yang statusnya dalam warga kasepuhan sebagai warga simpatisan atau sebagai pengikut kasepuhan. Pada umumnya, warga jiwa luar berada di luar kasepuhan Ciptagelar dan tidak melakukan tradisi pertanian secara penuh tetapi tetap mengakui kasepuhan dan sering meminta bantuan spiritual kepada sesepuh girang.
Warga jiwa luar kasepuhan mempunyai kewajiban untuk membayar uang ngajiwa (sensus para incu putu) dan ngalaukan (iuran dana upacara seren taun). Menurut Abah Anom, jiwa luar tidak hanya tersebar di wilayah Sukabumi, tetapi menyebar sampai ke Lebak, Bogor, Bandung, Jakarta, Lampung, Palembang bahkan sampai ke Sulawesi.
Berdasarkan catatan terakhir yang ada pads pamakayan (dukun tani) disebutkan bahwa jumlah warga kasepuhan yang termasuk dalam jiwa jero sebanyak 15.795 jiwa terhimpun dalam 3.833 KK. Sementara warga kasepuhan yang berada di Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar sebanyak 338 jiwa terhimpun dalam 76 KK. Pada umumnya, warga kasepuhan yang berada di Kampung Gede memeluk agama Islam. Kehidupan keagamaan mereka masih berbaur dengan sistem kepercayaan non Islami yang merupakan adat istiadat Ieluhurnya. Bahkan dalam beberapa hal adat istiadat lebih menonjol, misalnya kepercayaan terhadap Dewi Sri yang tercermin dalam berbagai upacara adat pertanian.
Pendidikan warga kasepuhan Ciptagelar relatif rendah. Pada umumnya, mereka hanya mengikuti pendidikan formal sampai kelas tiga sekolah dasar dan hanya beberapa orang saja yang telah menamatkan pendidikan Sekolah Dasar dan SLTP, di antaranya Abah Anom Encup Sucipta. Kurangnya warga yang mendapat pendidikan formal, selain diakibatkan taraf ekonomi juga lebih dikarenakan oleh faktor tradisi dan persepsi warga terhadap pendidikan. Bagi warga kasepuhan, sekolah tidak perlu tinggi-tinggi, yang penting dapat membaca dan menulis, sebab akhirnyamereka tetap harus kembali pada tata cara kehidupan tradisional. Oleh karena itu, warga kasepuhan lebih mengarahkan anak-anak pada pekerjaan sebagai petani dan penerus tradisi leluhurnya.
Warga Kasepuhan Ciptagelar tidak menutup diri terhadap inovasi dari luar, terbukti dengan masuknya listrik dan alat-alat elektronik. Alat-alat elektronik yang dimiliki warga Kasepuhan Ciptagelar antara lain radio, radio tape dan televisi, beberapa di antaranya dilengkapi dengan parabola. Di rumah sesepuh girang (Abah Anom) terdapat alat elektronik radio tape dan televisi, bahkan khusus sesepuh girang mempunyai pesawat telepon dan kendaraan Jeep.
3. Potensi Budaya
a. Sejarah / Asal Usul
Ada dua buah cerita lisan yang mengetengahkan asal-usul Kampung Ciptagelar. Yang pertama Kampung Ciptagelar berasal dari keturunan Pakuan Pajajaran, yaitu Prabu Siliwangi. Sementara cerita lisan yang kedua berasal dari keturunan Ki Demang Haur Tangtu, yang merupakan salah satu pengawal Prabu Siliwangi. Secara singkat kedua cerita yang dimaksud dapat dikemukakan sebagai berikut.
Di daerah Jawa Barat telah berdiri beberapa kerajaan, di antaranya Kerajaan Sunda. Pada saat kerajaan Sunda diperintah oleh Prabu Siliwangi (warga Kasepuhan Ciptagelar menyebutnya Kanda Hyang atau Galuh Wening Bramasakti), kerajaan ini memiliki sebuah pasukan khusus yang disebut Bareusan Pangawinan. Bareusan Pangawinan adalah pasukan khusus kerajaan Sunda yang bersenjata tombak. Anggota pasukan ini dipilih dan dilatih secara langsung oleh para bupati, patih, atau puun. Pelatih secara langsung ini disebut guru alas. Para guru alas ini dianggap memiliki pengalaman, taat, setia, dan memiliki pengetahuan yang luas tentang perang dan kesaktian.
Pasukan khusus Bareusan Pangawinan dipimpin oleh tiga orang, yaitu Demang Haur Tangtu, Guru Alas Lumintang Ken-dungan, dan Puun Buluh Panuh; mereka ditugaskan oleh Prabu Siliwangi untuk menyelamatkan hanjuang bodas dari serangan pasukan Banten (1579). Setelah mendapat tugas tersebut, ketiganya bersama sang raja segera mundur dari Pakuan (ibukota) Padjajaran ke arah selatan, ke sebuah tempat yang disebut Tegal Buleud.
Di daerah Tegal Buleud, Sang Raja membagi-bagi pengikutnya dalam kelompok-kelompok kecil dan memberi kebebasan kepada para pengikutnya tersebut untuk memilih jalan hidup masing-masing. Sang Raja sendiri memilih jalan untuk ngahyang (menghilang dari pandangan mats). Sementara itu, ketiga pimpinan Bareusan Pangawinan bertekad untuk kembali ke dayeuh (kota) yang telah ditinggalkan.
Dalam perjalanan menuju dayeuh, ketiga pimpinan Bareusan Pangawinan sepakat untuk berpisah dan menempuh jalan hidup masing¬masing, tetapi tetap memelihara hubungan satu dengan Iainnya. Perjalanan hidup Guru Alas Lumintang Ken-dungan dan Puun Buluh Panuh selanjutnya tidak diceritakan dengan jelas. Sementara itu, Ki Demang Haur Tangtu akhirnya menetap di daerah Guradog (Jasinga) hingga akhir hayatnya. Kuburan Ki Demang Haur Tangtu sekarang ini dikenal dengan sebutan Makam Dalem Tangtu Awileat. Di Kampung Guradog ini, Ki Demang Haur Tangtu mempunyai keturunan, yaitu warga yang sekarang bertempat tinggal di daerah Citorek dan dikenal dengan sebutan kasepuhan. Dan turunan Ki Demang inilah asal muasal berkembangnya kelompok sosial Kasepuhan. Dalam cerita rakyat daerah Cisolok disebutkan bahwa Ki Demang Haur Tangtu memperistri Nini Tundarasa, seorang gadis dari Kampung Kaduluhur. Nini Tundarasa inilah yang dianggap sebagai leluhur atau nenek moyang warga Kasepuhan Ciptagelar. Setelah menjadi satu di antara beberapa istri Ki Demang Haur Tangtu, Nini Tundarasa pindah dari Kampung Kaduluhur ke Kampung Guradog. Selanjutnya, keturunan mereka berpindah¬pindah tempat tinggal dari satu tempat ke tempat lainnya.
Dalam perjalanan sejarahnya, warga kasepuhan telah berpindah beberapa kali tetapi tetap berada di sekitar daerah Banten, Bogor, dan Sukabumi Selatan. Awal perpindahan dimulai dari Ieluhur mereka, yaitu Nini Tundarasa yang pindah dari Kampung Kaduluhur ke Kampung Guradog.
Satu di antara keturunan Nini Tundarasa bemama Ki Buyut Mar yang lahir di Guradog pindah ke Kampung Lebak Binong (Banten). Anak Ki Buyut Mar yang bernama Aki Buyut Mas kemudian pindah ke Kampung Cipatat (Bogor) yang kini dikenal dengan nama Kasepuhan Urug. Selanjutnya keturunan Aki Buyut Mas yang bernama Aki Wami alias Buyut Gondok memindahkan Kampung Gede ke kampung Lebak Larang (Banten).
Aki Buyut Warni mempunyai dua orang anak laki-laki, yaitu Aki Buyut Kayon dan Aki Buyut San. Aki Buyut Kayon menggantikan ayahnya menjadi sesepuh girang dan memindahkan Kampung Gede ke Kampung Lebak Binong. Pengganti Aki Buyut Kayon, bernama Aki Buyut Arikin memindahkan lagi Kampung Gede ke Kampung Tegallumbu (Banten).
Aki Buyut Arikin mempunyai enam orang anak, yaitu Aki Buyut Sal, Aki Buyut Mak, Aki Buyut In, Nini Buyut As, Aki Buyut Jasiun, dan Aki Buyut Si. Aki Buyut Jasiun atau Ki Ciung ditetapkan sebagai sesepuh girang menggantikan ayahnya Aki Buyut Arikin. Sejak masa kepemimpinan Aki Buyut Jasiun atau Ama Jasiun, kasepuhan mulai berkembang ke daerah Sukabumi Selatan. Aki Buyut Jasiun sendiri memindahkan Kampung Gede dari Tegallumbu ke Bojong Cisono (Sukabumi). Aki Jasiun mempunyai dua orang anak, yaitu Aku Buyut Las atau Aki Buyut Rusdi dan Nini Buyut Ari. Pengganti Aki Buyut Jasiun adalah Aki Buyut Rusdi.
Aki Buyut Rusdi memindahkan kedudukan Kampung Gede ke daerah Cicemet (Sukabumi). Perpindahan ini terjadi pada masa pendudukan Jepang. Di Cicemet, Kampung Gede menetap cukup lama sampai masa kemerdekaan hingga terjadinya pemberontakan DUTII. Akibat gangguan dari pemberontak DUTII, pada tahun 1957 Aki Buyut Rusdi memindahkan pusat kasepuhan (Kampung Gede) ke Cikaret. Selanjutnya, terjadi perubahan nama kampung Cikaret menjadi Kampung Sirnaresmi. Aki Buyut Rusdi mempunyai empat orang anak, yaitu Nini Buyut Lasm atau Ma Anom, Ama Sup, Abah Ardjo, dan yang keempat tidak disebutkan namanya. Abah Ardjo atau Ki Ardjo kemudian menggantikan ayahnya, Aki Buyut Rusdi menjadi sesepuh girang kasepuhan.
Pada saat menjadi sesepuh girang, Abah Ardjo beberapa kali memindahkan lokasi pusat kasepuhan yang disebut Kampung Gede. Pertama, Abah Ardjo memindahkan Kampung Gede dari Kampung Cidamar ke sebuah kampung di sekitar Kecamatan Cisolok. Kedua, Ki Ardjo lalu memindahkan lagi ke Kampung Ciganas. Kampung Ciganas mengalami perubahan nama menjadi Sirnarasa. Ketiga, setelah bermukim selama 8 tahun di Kampung Ciganas, Ki Ardjo memindahkan Kampung Gede ke Kampung Linggarjati. Keempat, Ki Ardjo memindahkan Kampung Gede ke Kampung Ciptarasa.
Ki Ardjo pernah menikah sebanyak tujuh kali dan mempunyai anak tiga belas orang. Dari isteri keenam yang bernama Ma Tarsih mempunyai tiga orang anak, yaitu Encup Sucipta, [is, dan Lia. Dari isteri ketujuh yang bernama Ma Isah mempunyai enam anak.
Setelah Ki Arjo meninggal, anak pertama dari Ma Tarsih yaitu Encup Sucipta, menggantikan kedudukannya sebagai sesepuh girang. Kini, keluarga Abah Ardjo tinggal di rumah yang berada di sekitar rumah sesepuh girang. Sesepuh girang pada saat dilakukan pendataan ini (2002) adalah Abah Encup Sucipta. Dia Iebih dikenal dengan nama Abah Anom (Bapak Muda) karena saat dia menerima jabatan sesepuh girang masih berusia muda yaitu 17 tahun. Jabatan sesepuh girang bersifat turun temurun dan selalu diwariskan kepada anak laki-Iaki (tidak harus yang sulung).
Selain Kasepuhan Ciptagelar, di daerah Banten dan sekitamya terdapat beberapa masyarakat yang menamakan dirinya sebagai kasepuhan, antara lain Kasepuhan Urug (Bogor Selatan), Kasepuhan Citorek, Kasepuhan Cisungsang, Kasepuhan Ciherang, Kasepuhan Cicarucub, dan Kasepuhan Cisitu (semua berada di Banten Selatan) serta Kasepuhan Sirnaresmi (Sukabumi). Semua kasepuhan tersebut diikat oleh sebuah lembaga persatuan yang disebut Kesatuan Adat Banten Kidul (Adimihardja, 1989). Pusat kepemimpinan Kesatuan Adat Banten Kidul berada di Kasepuhan Ciptagelar dengan ketuanya Abah Anom Encup Sucipta.
b. Religi
Sistem Pengetahuan, dan Tabu Warga Kasepuhan Ciptagelar memeluk agama Islam. Namun dalam kehidupan sehari-hari pelaksanaan kegiatan keagamaannya masih didominasi kepercayaan terhadap adat dan tradisi nenek moyangnya (tatali paranti karuhun). Konsep atau pandangan hidupnya lebih menitikberatkan pada adat dan tradisinya ketimbang merujuk pada sumber utama agamanya (Al-Quran). Dalam hal ini, perenungan atas alam semesta telah membawa mereka pada kesimpulan alam semesta merupakan sistem yang teratur dan seimbang.
Keteraturan dan keseimbangan alam semesta merupakan sesuatu yang mutlak. Adanya malapateka atau bencana menurut pandangan warga kasepuhan adalah sebagai akibat keseimbangan dan keteraturan alam semesta terganggu. Oleh karena itulah tugas utama manusia adalah memelihara dan menjaga keseimbangan hubungan berbagai unsur yang ada di alam semesta ini.
Warga Kasepuhan Ciptagelar mempunyai keyakinan bahwa seseorang yang ingin sukses hidupnya atau bahagia, is harus dapat mencapai satu kesatuan hidup atau rasa manunggal, yakni menyatukan alam makro kosmos dengan mikro kosmos. Sebuah ungkapan yang sering dijadikan pedoman untuk mencapai rasa yang dimaksud adalah tilu sapamilu, dua sakarupa, hiji eta keneh (tiga sejenis, dua serupa, satu itu-itu juga). Ungkapan tersebut merupakan suatu pernyataan yang menggambarkan bahwa manusia di dunia ini mempunyai bermacam-macam keinginan, sikap, dan sifat yang pada hakekatnya sama yaitu mahiuk yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa.
Selanjutnya dalam upaya mencapai ketertiban dan keselarasan hidup manusia, warga Kasepuhan Ciptagelar harus menyelaraskan ucapan, tingkah laku dan tekad (ucap lampah ka/awan tekad). Bagi warga Kasepuhan Ciptagelar, pedoman hidup berupa tatali paranti karuhun - harus dilaksanakan karena setiap pelanggaran terhadapnya akan mengakibatkan bencana (kabendon), balk bagi dirinya maupun masyarakat. Dengan cara itu, maka warga kasepuhan berharap dapat terhindar dari berbagai malapetaka.
Kepercayaan terhadap tatali paranti karuhun terekspresikan dalam berbagai simbol berupa tabu (pantangan) dan lambang-lambang tertentu yang mengandung makna simbolik. Sebagai contoh adalah tabu untuk menjual beras, tabu mengeluarkan padi pada hari lahir (wedal), tabu untuk bersiul di sekitar kampung, dan tabu untuk mengolah sawah pada hari Jum\\\'at dan Minggu. Adapun lambang-lambang yang mempunyai makna simbolik antara lain : sawen, rawun, pungpuhunan, dan tukuh lembur. Bagi warga Kasepuhan Ciptagelar, tabu dan simbol-simbol tersebut merupakan alat yang menjaga lingkungan keluarga dan komunitas mereka selamat dari gangguan orang maupun roh-roh jahat.
Kepercayaan warga Kasepuhan Ciptagelar yang tidak boleh diabaikan begitu saja adalah penghormatan kepada Dewi Sri yang dipercayai sebagai "Dewi Padi". Misalnya pandangan terhadap Dewi Sri yang mereka sebut Nyi Pohaci Sang-hyang Sri Ratna Inten Purnama Alam Sajati; Dewi Sri hanya bersemayan pada padi sekali dalam setahun, sehingga menyebabkan penanaman padi harus dilakukan sekali dalam setahun.
Menurut mereka, berbagai pelanggaran terhadap padi dan tats cara dalam pemeliharaannya, akan menimbulkan ketidakberhasilan panen (tidak sesuai dengan yang diharapkan). Oleh karena itu mudah dimengerti apabila setiap siklus pertanian tidak lepas dari berbagai upacara, misalnya: upacara sasarap, ngabersihan, ngaseuk, tebar, mipit, ngadiukeun, nganyaran, ponggokan, dan seven taun. Demikian pula dalam segi teknologi pertanian pun lebih banyak menggunakan alat-alat tradisional seperti : etem (ani-ani), lesung, dan rengkong (alat pemikul yang berfungsi untuk membawa pocongan padi dari lantayan ke leuit).
Leuit bagi warga Kasepuhan Ciptagelar tidak hanya berarti gudang tempat penyimpanan padi melainkan berkaitan dengan kepercayaan mereka yakni simbol dari penghormatan mereka pada Dewi Sri (dewi penguasa dan pemelihara padi). Kepercayaan tersebut telah terinternalisasi dalam kehidupan mereka, sehingga berdasarkan kepercayaan mereka apabila padi tidak disimpan di leuit maka mereka bisa kabendon (celaka).
Manifestasi dari kepercayaan tersebut di atas adalah adanya kebiasa¬an, aturan atau pantangan/tabu yang berkaitan dengan leuit, misalnya : tabu menjual beras dan menggiling padi dengan heuleur (mesin perontok padi). Masyarakat diperbolehkan menjual padi dengan syarat padi yang dijual adalah padi hasil panen tahun lalu yang telah dirasulkeun secara adat oleh sesepuh girang. Dalam hal ini warga kasepuhan hanya menjual kelebihan padi hasil panen tahun lalu.
c. Sistem Kemasyarakatan
Kesatuan terkecil dalam sebuah masyarakat adalah keluarga. Sebuah keluarga di Kasepuhan Ciptagelar terdiri atas bapak, ibu dan anak. Namun demikan ada juga yang tinggal beberapa anggota keluarga lain (saudara). Mereka semua hidup dan makan dalam satu atap atau dikenal dengan istilah sadapur, dan segenap anggota keluarga yang hidup dalam satu rumah (satu atap) serta makan dari satu dapur itu disebut sabondoroyot. Meskipun wewenang dalam menentukan kebijakan rumah tangga ada pada suami-isteri sebagai kepala rumah tangga, \\\'intervensi\\\' orang yang paling tua atau orang yang dituakan yang tinggal dalam rumah tangga itu, relatif menentukan.
Dalam hal perkawinan, terdapat kecenderungan melakukan perkawinan dengan sesama warga Kasepuhan Ciptagelar (endogami kelompok sosial). Sebelum melaksanakan upacara perkawinan, orang tua dari kedua mempelai akan meminta restu terlebih dahulu kepada sesepuh girang. Setelah upacara perkawinan, mereka biasanya tinggal pada kerabat isteri (uxorilokal/matrilocal) atau tinggal di rumah baru (neolokaO.
Sistem kekerabatan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar adalah bilateral/parental, dengan pengertian bahwa hubungan sanak-saudara ditentukan melalui garis keturunan pihak ayah dan pihak ibu. Pola untuk menentukan garis keturunan yang tidak membedakan garis ayah maupun garis ibu ini sama dengan yang dianut masyarakat Sunda pada umumnya di Jawa Barat. Hal tersebut dapat dipahami mengingat warga Kasepuhan Ciptagelar termasuk suku Sunda.
Selanjutnya, dalam kehidupan sehari-hari, komunitas Kasepuhan Ciptagelar diorganisasikan oleh suatu elite kepemimpinan lokal yang berpusat pada kekuasaan seorang pemimpin adat yang disebut sesepuh girang. Sesepuh girang adalah seseorang yang diangkat secara adat untuk memimpin komunitas Kasepuhan dan biasanya merupakan anak dari sesepuh girang sebelumnya yang menurut kepercayaan mereka, penunjukkan sesepuh girang ini merupakan perintah dari karuhun. Jabatan sesepuh girang ini merupakan jabatan yang bersifat turun-temurun dan s9lalu diwariskan kepada anak laki-laki (tidak harus yang pertama/sulung).
Sesepuh girang dibantu oleh beberapa orang yang dalam struktur organisasi Kasepuhan Ciptagelar disebut dengan basis kolot. Basis Kolot adalah beberapa orang yang dijadikan pembimbing, penasihat serta yang memberikan pertimbangan kepada sesepuh girang berkaitan dengan kepentingan kelompok sosial Kasepuhan Ciptagelar. Masing-masing bans kolot ini mempunyai tanggung jawab sesuai bidangnya masing-masing, yaitu Girang Serat, Sesepuh Kampung, Pamakayan (Dukun Tani), Bengkong, Juru Pantun, Indung Beurang, Dalang, Tukang Tinggar, Penghulu, Tukang Bas (kayu/bangunan), Panganteur, Tukang Bebersih, dan Kemit. Dalam melancarkan urusan di bumi ageung terdapat beberapa orang yang membantu, yaitu sebagai : Candoli, Palawari, Pangejeg, dan Tukang Potong.
d. Upacara-upacara Adat
1) Upacara Iingkaran hidup
Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar masih melakukan berbagai upacara yang berkaitan dengan lingkaran hidup. Upacara-upacara yang dimaksud adalah upacara yang berkaitan dengan kelahiran seperti: upacara selamatan pemberian nama dan upacara mengubur bali (ari-ari atau tembuni); upacara masa kanak-kanak bagi anak laki-laki biasa dilakukan upacara khitanan dan upacara helaran; upacara yang berkaitan dengan perkawinan seperti lamaran, akad nikah, dan lain-lain; dan upacara yang berkaitan dengan kematian.
2) Upacara pertanian
Masyarakat Kampung Ciptagelar adalah masyarakat yang memegang teguh adat istiadat. Setiap kegiatan sosial dalam masyarakat selalu dimulai dengan suatu upacara yang oleh mereka disebut do\\\'a amit. Doa amit dimaksudkan untuk memohon perlindungan para karuhun, para dewa, dan Yang Maha Kuasa agar terhindar dari berbagai bencana.
Pada saat akan memulai menanam padi balk di sawah maupun di ladang, sesepuh girang bersama para pembantunya berziarah ke makam nenek moyangnya yang berada di daerah Bogor Selatan dan Banten Selatan. Di hadapan pusara, sesepuh girang memanjatkan doa amit.
Pada malam harinya, dilakukan upacara selamatan di rumah sesepuh girang yang dihadiri oleh para tokoh adat dan segenap sesepuh kampung.
Upacara-upacara yang berkaitan dengan kegiatan bercocok tanam adalah : upacara membuka ladang, upacara ngaseuk, upacara mipit/nyalin (upacara pendahuluan sebelum dilakukan panen pertama), upacara seren taun (upacara adat pasca panen), upacara nganyaran (makan nasi yang pertama kali dari hasil panen), dan upacara ngahudangkeun (membangunkan padi yang telah didiukeun di dalam leuit sebelum dipergunakan oleh pemilik leuit).
e. Kesenian
Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar mengenal berbagai macam kesenian dan beberapa di antaranya berhubungan erat dengan uparaca adat karena sering dipentaskan pada upacara-upacara adat yang biasa dilaksanakan, seperti pada upacara ngaseuk, mipit, nganyaran, dan upacara sepanjang lingkaran hidup (khitanan dan pernikahan). Jenis jenis kesenian tersebut antara lain genjring, pencak silat, pantun, calung, wayang golek, dog¬dog lojor, topeng, jipeng, dan angklung.
Istilah genjring diambil dari nama alatnya (waditra), yaitu semacam alat dengan membran terbuat dari kulit, sedangkan memainkannya dengan cara dipukul menggunakan telapak tangan (ditepak). Masyarakat Kasepuhan Ciptagelar mengenal kesenian ini sebagai kesenian tradisional yang bernafaskan ke-Islaman. Genjring ini biasanya dimainkan oleh dua belas prang pemain.
Pantun adalah cerita dalam bentuk puisi Sunda lama yang diceritakan atau dinyanyikan dalam bentuk prolog atau dialog. Seni pantun dimainkan seorang diri oleh Ki Juru Pantun. Dia membawakan atau menembangkan lakon sambil memetik kecapi. Lakon yang dibawakan adalah Munding Jalingan dan Perenggong Jaya.
Pada jenis kesenian dog-dog lojor, pemainnya berjumlah 6 orang; 2 orang sebagai penabuh dog-dog dan 4 orang penabuh angklung. Jika dimainkan oleh 12 orang; 4 orang penabuh dog-dog dan 8 orang penabuh angklung. Para pemain dog-dog lojor ini akan berkeliling kampung sambil melantunkan musiknya.
f. Pola Perkampungan
Permukiman masyarakat Kasepuhan Ciptagelar merupakan prototipe dari pola kampung masyarakat Sunda pada umumnya. Bangunan-bangunan seperti bumi ageung, leuit (lumbung padi), saung lisung, buruan (halaman), dan rumah panggung menunjukkan pola perkampungan khas masyarakat tradisional Sunda. Rumah dan kelengkapan permukiman lainnya, dibangun mengikuti lahan berkontur.
Mengamati pola penempatan bangunan, dapat dikatakan pola Kampung Cede Kasepuhan Ciptagelar adalah tinier. Jalur tinier ini memanjang dan utara ke selatan mulai Bumi Ageung yang terletak paling utara. Sedangkan rumah-rumah yang berada di pinggir jalan pada umumnya berorientasi ke arah jalan. Sementara rumah-rumah yang berada pada lapis kedua, sangat bergantung pada kondiSi tanah. Pola tatanan rumah lapis kedua ini berderet secara linier mengikuti kontur tanah dan jalan tanah/gang. Bumi Ageung yang menyatu dengan Bumi Warga atau Bumi Rakyat, yaitu rumah yang ditempati Abah Anom menempati hirarki tertinggi pada .pemukiman. Bangunan yang menyatu dengan Bumi Ageung adalah Bumi Warga atau Bumi Rakyat. Bangunan ini didirikan untuk memenuhi kebutuhan publik sehingga setiap orang dapat masuk ke dalamnya.
Di sekitar bumi ageung terdapat rumah para penjaga (kemit), yaitu para warga yang bertugas untuk menjaga keamanan bumi ageung dan menjaga api yang berada dalam bangunan tersebut tetap menyala. Bumi ageung selalu diupayakan terjaga keamanannya karena di dalamnya tersimpan beberapa pusaka warisan para pendiri/leluhur.
Di sebelah timur bumi ageung terdapat lumbung padi yang dikenal dengan sebutan leuit, dimiliki secara umum (milik semua warga). Lumbung umum ini disebut leuit kasatuan atau leuit paceklik. Disebut leuit paceklik karena merupakan cadangan pangan masyarakat pada masa paceklik. Lumbung umum di Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar disebut leuit si Jimat yang berkapasitas 7.500 pocong padi.
Setiap rumah tangga memiliki leuit. Leuit yang berbentuk seperti rumah berukuran kecil dengan dinding bilik dan atap dari ijuk ini umumnya berada di pinggir pemukiman. Oleh karena kecil dan ringan, leuit dapat diangkat oleh kurang Iebih 6 orang jika sewaktu-waktu perlu dipindahkan. Berdekatan dengan \\\'kelompok leuit terdapat bangunan milik bersama tempat menumbuk padi yang dinamakan saung lisung. Di saung lisung terdapat satu atau lebih lisung yang digunakan oleh para wanita untuk menumbuk oadi.
Bentuk dasar yang menjadi pola mayoritas pada rumah masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, terbagi atas tiga ruangan, yaitu tepas atau ruang depan, ruang tengah, dan ruang belakang. Tepas adalah ruang tempat Satu bagian yang dapat dikatakan sebagai ciri khas Kampung Gede Kasepuhan Ciptagelar adalah terdapatnya Bale Pertemuan yang terletak di lingkungan rumah tinggal Sesepuh Girang. Bale Pertemuan ini merupakan bangunan berupa panggung-panggung dengan material kayu dan bambu, digunakan sebagai tempat pertemuan para warga Kasepuhan Ciptagelar maupun untuk pertemuan dengan pejabat pemerintahan.
g. Rumah
Komponen permukiman yang penting dan berfungsi sebagai tempat tinggal warga adalah rumah. Rumah-rumah warga Kasepuhan Ciptagelar menunjukkan adanya kesamaan dengan pola arsitektur Sunda pada umumnya. Adapun bahan-bahan yang digunakan cenderung menggunakan material yang terdapat di sekitar pemukiman, seperti dinding bilik (anyaman bambu), rangka kayu dan atap dari ijuk, rumbia atau tepus.
Jenis rumah mereka adalah rumah panggung dengan kolong setinggi kurang lebih 60 sentimeter. Kolong tersebut umumnya ditutup dengan papan. Adapun bentuk rumahnya rata-rata persegi panjang dengan suhunan panjang (ditambah teritis di bagian depan dan belakang) serta suhunan jure yaitu bentuk atap perisai yang memanjang.
Material atap yang banyak dipakai adalah daun tepus, rumbia, atau ijuk. Menggunakan atap genting merupakan hal yang tabu bagi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar karena bahan pembuat genting adalah tanah. Seorang informan menuturkan, "Kalau belum mati mengapa harus beratapkan tanah." Pada saat dilakukan pendataan, terdapat juga warga yang mengganti material atapnya dengan seng karena alasan faktor ekonomis; harga seng lebih murah dibandingkan harga daun tepus. Lagi pula, seng lebih tahan lama dibandingkan dengan rumbia yang harus diganti setiap 4 tahun.
Bentuk dasar yang menjadi pola mayoritas pada rumah masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, terbagi atas tiga ruangan, yaitu tepas atau ruang depan, ruang tengah, dan ruang belakang. Tepas adalah ruang tempat menerima tamu dan dianggap sebagai daerah laki-laki walaupun kadang¬kadang wanita juga diperbolehkan masuk.
Ruang tengah terdiri atas tengah imah dan pangkeng. Tengah imah merupakan daerah netral sehingga terbuka untuk semua jenis kelamin anggota keluarga dan biasanya digunakan untuk berkumpul semua anggota keluarga. Pangkeng (ruang tidur) merupakan kategorisasi dari daerah wanita. Meskipun suami dapat masuk ke dalam ruang ini, ruang tidut lebih menggambarkan ciri kewanitaan. Ruang tidur biasanya terletak di sebelah kanan bagian rumah (merupakan hasil pembagian dengan ruang tengah).
Ruang belakang yang terdiri atas padaangan/goah dan dapur, dikategorikan sebagai daerah wanita. Goah adalah ruang khusus untuk wanita karena beras identik dengan sifat kewanitaan (dewi padi). Laki-laki dilarang masuk sama sekali ke daerah ini. Daerah dapur juga merupakan daerah wanita. Laki-laki boleh masuk ke dapur, tetapi mereka tidak biasa bercakap-cakap (berusaha untuk tidak mengobrol) di dapur, kecuali sesama anggota keluarga atau kerabat dekat.
Pintu masuk rumah terbagi dua, yaitu pintu depan dan pintu belakang yang terletak di samping rumah. Mengenai letak pintu ini terdapat kepercayaan bahwa apabila rumah mempergunakan dua pintu atau lebih, maka pantang untuk membuat pintu belakang sejajar dengan pintu depan karena rejeki yang masuk dari pintu yang satu akan langsung keluar lagi melalui pintu yang lain (bablas). Oleh karena itu, pintu belakang diletakkan di samping rumah menjadi pintu samping.
Menurut pandangan kosmologis, rumah dipandang sebagai dunia dan alam semesta. Dalam kepercayaan masyarakat Sunda umumnya, terdapat pandangan bahwa dunia ini terbagi menjadi dunia bawah (buana rangrang), dunia tengah (buana panca tengah), dan dunia atas (buana alit). Dunia tengah merupakan pusat alam semesta dan manusia menempatkan dirinya pada pusat alam semesta tersebut. Oleh karena itu, rumah sebagai tempat tinggal manusia harus terletak di tengah antara dunia atas (langit) dan dunia bawah (bumi) dan tidak terletak di dunia atas atau bawah.
Bagian-bagian rumah dapat dibagi menjadi bagian kepala yang menyimbolkan dunia atas, bagian badan mewakili dunia tengah dan bagian kaki yang menyimbolkan dunia bawah. Oleh karena rumah tidak boleh terletak di dunia bawah atau dunia atas, maka tiang rumahpun tidak boleh diletakkan di atas tanah. Rumah harus diberi alas yang berfungsi memisahkan lantai rumah dengan tanah, dengan demikian terdapat kolong di bawah lantai rumah. Di Kasepuhan Ciptagelar, kolong tersebut pada umumnya ditutupi dengan papan. Kolong memisahkan bagian tengah tempat manusia beraktivitas sehari-hari dengan dunia bawah (tanah) sedangkan atap menyimbolkan dunia atas. Oleh karena itu, memakai genteng yang terbuat dad tanah merupakan hal yang tabu karena tanah merupakan wujud dari dunia bawah (tempat untuk orang mati).
Secara administratif, Kampung Ciptagelar berada di wilayah Kampung Sukamulya Desa Sirnaresmi, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Jarak Kampung Ciptagelar dari Desa Sirnaresmi 14 Km, dari kota kecamatan 27 Km, dari pusat pemerintahan Kabupaten Sukabumi 103 Km dan dari Bandung 203 Km ke arah Barat. Kampung Ciptagelar dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat (mobil) dan roda dua (motor). Jenis kendaraan roda empat harus mempunyai persyaratan khusus, yakni mempunyai ketinggian badan cukup tinggi di atas tanah serta dalam kondisi prima. Apabila tidak mempunyai persyaratan yang dimaksud kecil kemungkinan kendaraan tersebut sampai ke lokasi. Dan umumnya mobil-mobil demikian hanya sampai di kantor Desa Sirnaresmi yang sekaligus merupakan tempat parkirnya. Selebihnya menggunakan kendaraan ojeg atau mobil umum (jenis jeep) yang hanya ada sewaktu-waktu atau jalan kaki.
Source: disparbud.jabarprov.go.id