Budaya Atau Masyarakat Adat Kasepuhan Adat Banten

Source Image: www.halimunsalak.org

Budaya Atau Masyarakat Adat Kasepuhan Adat Banten - Wilayah kerja TNGHS terletak dalam 28 kecamatan, dimana 9 kecamatan di Kabupaten Bogor, 8 kecamatan di Kabupaten Sukabumi dan 11 kecamatan di Kabupaten Lebak. Secara keseluruhan terdapat 123 desa yang sebagian/seluruh wilayahnya berada di dalam dan/atau berbatasan langsung dengan kawasan TNGHS.

Komposisi jumlah penduduk dari ke-123 desa tersebut terdiri dari: 155.345 jiwa di Kabupaten Sukabumi (Tahun 2006), 296.138 jiwa di Kabupaten Bogor (Tahun 2005) dan 154.892 jiwa di Kabupaten Lebak (Tahun 2005). Berdasarkan survey kampung yang dilakukan oleh GHSNP MP-JICA pada tahun 2005 dan 2007, tercatat ada 348 kampung yang berada di dalam kawasan TNGHS.

Masyarakat lokal yang ada umumnya adalah suku Sunda, yang terbagi ke dalam kelompok masyarakat kasepuhan dan bukan kasepuhan. Untuk masyarakat kasepuhan, secara historis penyebarannya terpusat di Kampung Urug, Citorek, Bayah, Ciptamulya, Cicarucub, Cisungsang, Sirnaresmi, Ciptagelar dan Cisitu. Masyarakat kasepuhan masih memiliki susunan organisasi secara adat yang terpisah dari struktur organisasi pemerintahan formal (desa).

Berdasarkan wilayah hidupnya, masyarakat Kasepuhan Banten Kidul tersebar di Banten, Sukabumi dan Bogor. Di daerah Banten Selatan (Banten Kidul) warga Kasepuhan (incu putu) bermukim di sekitar Kecamatan Bayah yang antara lain terkonsentrasi di kampung Tegal Lumbu, Cicarucub, Cisungsang, Cicemet, Sirnagalih dan banyak lagi perkampungan tersebar di sekitar Desa Mekarsari, Sirnagalih, Sukamulya, Neglasari, Hergamanah, Warung Banten, Cihambali, Cikuda dan Citorek. Di Kecamatan Jasinga antara lain tersebar di sekitar kampung Gajrug, Sajira, Guradog dan berbagai kampung lain di sekitar wilayah tersebut. Di daerah Bogor Selatan, mereka bermukim di sekitar Kecamatan Cigudeg tepatnya di kampung Urug, Pabuaran dan Cipatat Kolot di wilayah Desa Kiara Pandak. Di daerah Sukabumi Selatan mereka tersebar di sekitar wilayah pedalaman Kecamatan Cisolok dan sepanjang sungai Cibareno Girang (Adimihardja, 1992). Selebihnya adalah daerah-daerah yang ditempati oleh urang sunda asli bukan Kasepuhan dan Baduy (masyarakat lokal).

Berdasarkan fungsi yang harus dijalankan dari tatali piranti karuhun, sebaran Masyarakat Kasepuhan tersebut, Kasepuhan Sinaresmi, Ciptagelar, Cisungsang, Cisitu, Cicarucup, Citorek dan Bayah merupakan kelompok Kasepuhan utama. Salah satu indikasi yang menunjukan tentang ”keutamaan” kelompok Kasepuhan tersebut adalah banyaknya perwalian. Sebagai contoh Kasepuhan Ciptagelar – dulu dikenal sebagai Kasepuhan Ciptarasa – membawahi 560 perwalian Kasepuhan dari tiap-tiap desa di tiga kabupaten (Lebak, Sukabumi dan Bogor). Selain dari Bogor, Sukabumi dan Lebak, pengikut kasepuhan juga berasal dari beberapa daerah lain. Banyak tidaknya pengikut dalam suatu kelompok Kasepuhan sangat mungkin juga dipengaruhi oleh kebiasaan berpindahnya kampung gede Kasepuhan (sebagai pusat orientasi sosio-kultural dan politik Masyarakat Kasepuhan) tersebut.

Bahasa yang umum digunakan oleh masyarakat lokal adalah bahasa Sunda dan mayoritas penduduknya beragama Islam walau masih terdapat yang menganut kepercayaan lama (sunda wiwitan). Masyarakat kasepuhan di TNGHS merupakan bagian dari warisan budaya nasional. Mereka masih memegang teguh adat kebudayaan nenek moyangnya terlihat dalam keseragaman kehidupan sehari-hari, arsitektur rumah, sistem pertanian dan interaksi dengan hutan.

Masyarakat setempat memanfaatkan hutan dan lahan sekitarnya dalam berbagai cara, yaitu seperti huma/ladang (swidden cultivation), sawah (rice growing), kebun (garden), kebuntalun (mixed garden) dan talon (mixed forest).  Masyarakat memiliki kearifan tradisional yang sifatnya tutun temurun dalam pemanfaatan dan konservasi hutan, melalui pembagian wilayah berhutan berdasarkan intensitas pemanfaatan dan tingkat perlindungannya yaitu adanya ‘leuweung titipan’ (protected forest), ‘leuweung tutupan’ (conservation forest), atau ‘leuweung sampalan’ (opened forest). Mereka masih memiliki interaksi yang kuat dengan hutan sekitarnya. Masyarakat juga memiliki pengetahuan etnobotani dan menggunakan tanaman atau tumbuh-tumbuhan di sekitar mereka berdasarkan pengetahuan tersebut, serta mempertahankan pola pertanian yang mampu melestarikan sumberdaya genetik padi (Oryza sativa) lokal. Pada saat ini sebagian anggota Masyarakat Kasepuhan mulai meninggalkan kearifan tradisional yang mereka miliki akibat dinamika proses sosial yang terjadi.

Source: www.halimunsalak.org